SKANDAL MANUSIA DAN MONYET

Oleh Yar Johan
Monkey (sumber: http://www.globalpost.com)
Skandal Monyet? Manusia? Apa hubungannya kita dan monyet? Skandal bagaimana? Kita keturunan monyet. Bukan. Bukan Toeri Darwin yang ingin saya bahas saat ini. Tentunya saya orang pertama yang akan lantang mengatakan nenek moyang kita bukan kera alias monyet. Bila Darwin masih hidup saya akan langsung menemuinya. 
Kalau nenek moyangnya masih hidup sampai sekarang. Hutan di kampung saya masih banyak monyet kok sampe sekarang tetap jadi monyet. Atau jangan-jangan Darwin punya skandal dengan para monyet (kera red).  Pernah trauma dengan monyet. 


Jatuh cinta sama monyet terus dia diputusin. Lha? Bisa jadi risetnya Darwin idenya terilham dari ayat al quran  kalau di jaman para nabi ada kaum yang di kutuk jadi monyet karena melanggar hari sabtu.    Berarti manusia dulu dunk baru jadi monyet. Kasian Darwin dan monyet? Pilih mana? Darwin? Monyet? Berbicara monyet saya ingat monyet di rumah. Iya di rumah kami memiliki dua monyet. Rumah yang tak jauh dari laut. Kehadirannya sangat membantu untuk mengambil buah kelapa. Satu yang besar dan satu yang kecil. 
Setiap pagi, siang dan sore saya memberikannya makan. Bahkan saya sering iseng ingin membuktikan selama ini sifat-sifat monyet seperti apa sesungguhnya? Meskipun itu sudah menjadi hal yang umum? Namun memang menarik untuk dikaji bagaimana sifat-sifat monyet tersebut salah satunya yang saya coba melihat bagaimana hubungan antara monyet dan makanannya. Bisa dibayangkan. Monyet di rumah saya yang monyet besar mulutnya sudah penuh dengan makanan (pipi kiri dan kanannya bengkak) tangan kiri dan kanan penuh dengan makanan. Ketika saya memberikan makanan ke monyet yang kecil ya bisa dibilang cucunya. 

Monyet yang besar teriak-teriak dan gusar. Kakinya dan badannya digoyang-goyangkan. Dengan tatapan sinis dan penuh emosional. Bahasa isyaratnya yang saya lihat monyet itu tidak ingin makanan di bagi dengan monyet kecil.  lha? Sesama monyet kok saling membenci? Mau taruh dimana makanan itu lagi kalau buat kamu lagi, Nyet? Perut sudah kembung, mulut sudah bengkak. Tangan kiri dan kanan sudah pegang makanan. Iya saya paling sering memberikannya buah pisang. Sebenarnya saya mempunyai nama panggilan tersendiri dengan monyet besar dan monyet kecil. Tapi cukup saya dan monyet-monyet saya saja yang tahu. Iya itu jadi pemandangan yang unik. Sebenarnya memelihara monyet bertentang dengan jiwa konservasi saya. Iya jiwa saya jiwa konservasi. Kebebasan adalah kemerdekaan. Kebebasan bukan milik manusia saja tapi semua makhluk dimuka bumi ini. Sehingga sahabat hewan yang ada di rumah saya ada kucing dan monyet. Saya sayang monyet seperti sayang sama kucing. Memberi nama panggilan kesayangan. Sering saya ajak bercanda. 
Membedakan kucing dan monyet karena monyet harus diikat kakinya dengan tali yang panjang. Karena bila tidak. Ketika diberi makan akan terjadi pembunuhan antara monyet besar dan kecil. Tentu monyet kecil akan tersiksa dan menderita. Iya itu sifat monyet. Tapi bila kesetiaanyanya. Jangan ditanya? Sering talinya sengaja di lepas tapi tidak sedikit terlepas. Monyet besar akan pulang lagi ke rumah. Biarpun dia sudah kemana-mana. Cuma satu yang tidak bisa kompromi. Monyet rakus urusan perutnya! Rakus dengan makanannya! Di kisah yang lain saya akan bercerita tentang cinta antara monyet dan kucing saya. Tunggu ya. Beberapa kali saya menemukan monyet dan kucing sering bercengkarama seperti sepasang kekasih. Kebetulan monyet besar itu jantan. Pernah saya kasihan melihat monyet itu berkelahi dengan kucing jantan dan bahkan anjing tetangga yang dipelihara lepas oleh tetangga saya. Apakah monyet dan anjing memperebutkan cinta kucing. Sampai-sampai tubuh monyet penuh dengan luka. Untung kejadian tersebut cepat diketahui. Monyet langsung di obati. Iya tetapsaja kucing betina menghampiri menggoda monyet besar. ada-ada saja dunia hewan. Mungkin suatu hari nanti kami akan melepas kedua monyet kesayangan ayah saya, kami sekeluargapun menyayangi monyet ini. Banyak ilmu dan cerminan kehidupan yang saya dapatkan dari yang namanya monyet. 
Bila dilihat dari sifat-sifat monyet besar. Monyet kecil juga saya perhatikan tidak begitu berbeda. dia menurunkan sifat-sifat monyet besar sedangkan dia bukan ayah biologisnya. Saya disini mencoba merenungi. Monyet kalau makannya tamak? Rakus? Kalau bisa dia sendiri yang kenyang. Bagaimana dengan Kita? Jangan-jangan bisa jadi kita keturunan monyet yang dibilang oleh darwin? Coba perhatikan dan renungkan. Ada sebuah kisah monyet dan makanannya     yang terjadi di Afrika dari bunda Tuti. 
Konon Di Afrika, teknik atau cara berburu monyet begitu unik. memungkinkan si pemburu menangkap monyet dalam keadaan hidup-hidup tanpa cedera sedikitpun. 
Cara menangkapnya sederhana saja – pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang dan sempit. Toples itu di isi kacang yang telah diberi aroma. Tujuannya untuk mengundang monyet-monyet datang. Setelah di isi kacang, toples-toples itu ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples dibiarkan tanpa tutup. Para pemburu biasa melakukannya disore hari.
Besoknya, mereka tinggal meringkus monyet-monyet yg tangannya terjebak di dalam botol tak bisa dikeluarkan.
Kok, bisa ?
Rupanya monyet-monyet itu tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples. Mereka mengamati lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang-kacang yang ada di dalam. Tapi karena menggenggam kacang, monyet-monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya. Selama mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula mereka terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat. Jadi, monyet-monyet itu tidak akan dapat pergi ke mana-mana!
Mungkin kita akan tertawa melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu. Tapi, tanpa sadar sebenamya kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri.
Ya, kadang kita bersikap seperti monyet-monyet itu. 

Kita mengenggam erat setiap permasalahan yang kita miliki layaknya monyet mengenggam kacang.

Kita sering menyimpan dendam, tak mudah memberi maaf, tak mudah mengampuni. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih ada di dalam dada.

Kita tak pernah bisa melepasnya.?

Bahkan, kita bertindak begitu bodoh, membawa “toples-toples”  itu ke mana pun kita pergi.Dengan beban berat itu, kita berusaha untuk terus berjalan.

Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang terperangkap penyakit kepahitan yang parah dan ketamakan yang menggila?


Sebenarnya monyet-monyet itu bisa selamat jika mau membuka genggaman tangannya dan kita pun akan selamat dari sakit hati jika sebelum matahari terbenam kita mau melepas semua perasaan negatif terhadap siapapun. 

Apakah kita mau disamakan dengan monyet? 
Dimanakah letak pembeda antar kita dan monyet? adakah? sedangkan manusia adalah makhluk yang paling mulia karena kesempurnaan yang dimilikanya. Apakah kemuliaan itu sudah berangsur-angsur hilang? atau sengaja di hilangkan atau terhilangkan? Belajar dari monyet. 
Sesampai di rumah lagi justru saya berpikir ulang sepertinya Teori Darwin mungkin makna atau maksudnya mengarahkan bahwa hati monyet (sifat-sifat monyet) sudah menurun ke manusia, bukan badan dan bulu mereka. Hanya bahasa populer menyimpulkan manusia keturunan monyet. Trik marketing. Satu lagi. Mengapa dalam dikisahkan  yang melanggar hari sabtu itu dikutuk menjadi monyet. Kenapa tak kucing? Beruang? Bukankan mereka dikutuk karena menangkap ikan. Iya notebene hewan-hewan memang suka ikan. Apa hubunganya ikan dan monyet.  Ikan di laut. Monyet di hutan. atau mungkin bisa jadi karena sifat-sifat monyetlah yang dikutuk ke manusia. Bukan bulu dan badanya. Semoga asumsi saya yang keliru. Kita tak perlu menanyakan mengapa. Itulah adalah Hak Sama Maha Pencipta pemilik alam ini. Namun kita perlu membuka lebih dalam lagi dan membaca ayat-ayat Tuhan pada monyet. Agar kita selalu bersyukur dan sabar dalam hidup. Bersyukur dengan berbagi agar sabar dan bersabar dengan rasa sykur agar bisa dinikmati hidup yang tak abadi. 
Sekali-kali tak salah kita bercermin pada monyet. Stop monyet bercermin pada kita. Semoga



Post a Comment