Oleh Yar johan[*]
"Hal itu menjadi alasan kenapa isu kerusakan lingkungan hidup ini harus menjadi tanggung jawab bersama, tanpa membedakan negara besar atau kecil, kaya atau miskin serta pelaku atau korban. Pelaku pencemaran atau yang diindikasikan mempunyai kontribusi besar pada terjadinya kerusakan lingkungan global, mempunyai kewajiban lebih besar daripada korban pencemaran atau yang tidak melakukan upaya-upaya perusakan lingkungan hidup"
Dalam prinsip ke 7 Deklarasi Rio bagian lingkungan dan Development dikatakan bahwa : In view of the different contributions to global environtmental degradation, States have Common but Differentiated Responsibilities. The developed countries acknoeledge the responsibility that they bear in the international pursuit of sustainable development in view of the pressures their societies place on the global environtmentand of the technologies and financial resources they command. (Mengingat adanya perbedaan bentuk bahwa sumbangsih yang menyebabkan terjadinya penurunan keadaan lingkungan dunia, maka negara-negara secara bersama-sama akan tetapi memiliki bentuk pertanggungjawaban yang berbeda. Negara-negara maju mengakui akan adanya tanggung jawab yang mereka pikul tehadap dalam usaha dalam perangka melakukan upaya pencarian msyarakat internasional dalam pembangaunan berkelanjutan mengingat besarnya tekanan, kelompok mereka dalam lingkungan global dan teknologi serta sumber dana yang mereka kuasai).
Meskipun gagasan tentang kebersamaan
dengan perbedaan tanggung jawab ini telah lama hadir akan tetapi efek yang
ditimbulkan belum dapat terlihat dalam deklarasi Rio. Hal yang terkadung dalam
deklarasi tersebut dikemukakan secara jelas sebagai sebuah prinsip. Prinsip ini
disebutkan dengan lebih spesifik dalam Kerangka Konvensi tentang Perubahan
Iklim Persatuan Bangsa-Bangsa.
Sudah menjadi hal yang
tidak bisa dibantah bahwa kerusakan lingkungan hidup disebuah Negara akan
mempunyai dampak buruk bagi Negara lainnya. Hal ini disebabkan karena
karakterik lingkungan adalah tidak mengenal batas wilayah dan administrasi
Negara. Tidak ada batas negara bagi sebuah sistem biosphere atau ekosistem.
Negara-negara di dunia tidak bisa hanya berpangku tangan dengan dalih negaranya
tidak melakukan tindakan yang merusak lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan
hidup secara global akan menyasar negara manapun, besar atau kecil, bahkan
tanpa memperhatikan besar kecil kontribusinya pada kerusakan lingkungan hidup
global.
PARADOKS
Hukum internasional telah lama mengatur soal kewajiban bagi pelaku pencemaran lingkungan yang melewati batas suatu negara atau satu pihak ke pihak lainnya. Dikenal dengan istilah Transfrontier Pollution (TFP). Sejak awal dekade 1970-an permasalahan ini telah sering terjadi sehingga menimbulkan pemikiran tentang perlunya kesepakatan yang mengatur sekaligus mengatasi masalah tersebut. Contoh perjanjian yang telah disepakati yang mengatur masalah TFP ini adalah Perjanjian Brussel Berkenaan dengan intervensi di lautan Terbuka dalam hal Korban Pencemaran minyak (Brussels Convention Relating to Intervention on The High Seas In Cases of Oil Pollution Casualties) serta Perjanjian Pertanggungan Sipil untuk Kerusakan Karena Pencemaran Minyak (Convention on Civil liability for Oil Pollution Damage).
Dua perjanjian itu dilatarbelakangi dengan terjadinya peristiwa kandasnya kapal tanker minyak Torrey Canyon, dilepas pantai Inggris pada tahun 1967 [1]. Kedua perjanjian di atas, disetujui pada tahun 1969, menjadi pokok yang penting dalam pengaturan lingkungan hidup yang bersifat public goods atau barang umum seperti udara, air dan lautan.
Pada tahun 1972, OECD mengenalkan sebuah prinsip penting untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan hidup tersebut, yakni prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Prinsip ini pada awalnya hanya mengharuskan pada pihak pelaku pencemaran membayar semua biaya untuk mengikuti aturan dan standar lingkungan hidup yang berlaku. Hal itu tentu saja menimbulkan sikap negatif, karena banyak negara atau kalangan swasta yang dengan seenaknya melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan dengan dalih bahwa mereka telah membayar biaya tertentu untuk mengikuti berbagai macam peraturan lingkungan. Dengan kata lain, jika mereka telah mengikuti sebuah standar tertentu lingkungan, maka jika terjadi kerusakan atau pencemaran akibat aktivitasnya, ia dibebaskan dari tanggung jawab untuk ganti rugi pada korban, misalnya.
Pemanasan global yang disinyalir bisa merubah iklim global secara ekstrim ternyata lebih mempunyai dampak buruk bagi negara-negara miskin di Sub-Sahara Afrika daripada negara-negara maju. Padahal negara-negara majulah yang mempunyai kontribusi paling banyak terhadap fenomena pemanasan global daripada negara-negara lainnya, terutama dalam hal emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya. Dengan kata lain, dengan terjadinya globalization of resources extraction, menyebabkan pihak yang menikmati keuntungan dari estraksi sumber daya itu serta pihak yang terkena imbas estraksi itu terpisah oleh batas geografi dan batas ekonomi serta keuntungan yang didapatkan oleh satu generasi, bisa jadi, menjadi kerugian pada generasi mendatang [2].
Hal itu menjadi alasan kenapa isu kerusakan lingkungan hidup ini harus menjadi tanggung jawab bersama, tanpa membedakan negara besar atau kecil, kaya atau miskin serta pelaku atau korban. Bukan berarti bahwa kewajiban hukum yang lahir kemudian karena perbedaan tindakan itu juga diandaikan sama. Pelaku pencemaran atau yang diindikasikan mempunyai kontribusi besar pada terjadinya kerusakan lingkungan global, tentu saja dan sudah menjadi keharusan, mempunyai kewajiban lebih besar daripada korban pencemaran atau yang tidak melakukan upaya-upaya perusakan lingkungan hidup.
Melihat fenomena itu, prinsip ini kemudian diperluas dengan mewajibkan kepada pelaku pencemaran untuk membayar biaya tertentu terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitasnya. Prinsip ini mewajibkan kepada pelaku untuk membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah ia telah mengikuti standar lingkungan atau tidak. Prinsip pencemar membayar ini, dalam perkembangannya dan dalam dataran tertentu, mengatur masalah tanggung jawab sebuah negara ke negara lain atas kerusakan lingkungan hidup yang diperbuatnya. Prinsip ini lahir dari kewajiban negara untuk tidak merusak lingkungan negara lain atau teritorial di luar wilayahnya serta kewajiban tiap orang untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Prinsip ini sekarang telah berlaku secara universal. Selain itu,dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih terkenal dengan sebutan KTT Bumi, yang terjadi pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil [3]. Permasalahan sebagaimana diuraikan di atas dijadikan latar belakang paradoks prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle).
Prinsip itu eksplisit dicantumkan dalam prinsip 7 Deklarasi Rio yang menegaskan bahwa negara-negara maju secara historis, bertanggung jawab atas menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup secara global akibat aktivitas pembangunan yang mereka lakukan; bahwa dengannya, pada sisi yang lain, mereka mempunyai sumber daya yang lebih baik dan lebih banyak, terutama sumber daya keuangan dan teknologi. Kedua hal itu menjadi dasar bahwa negara maju mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam memecahkan persoalan–persoalan lingkungan hidup global serta menjadi negara pertama dalam melakukan usaha-usaha demi tercapainya cita-cita internasional dalam hal pembangunan berkelanjutan.
Sementara prinsip 6 Deklarasi Rio menegaskan akan adanya kebutuhan dan situasi yang khusus di negara berkembang, terutama di negara terbelakang atau negara yang rentan secara lingkungan, yang membutuhkan prioritas khusus. Dengan kata lain, kedua prinsip itu memberikan penjelasan akan adanya kontribusi yang berbeda, yang menimbulkan kewajiban atau perlakuan yang berbeda-beda di antara negara-negara di dunia. Prinsip 6 memberikan alasan perbedaan situasi di negara berkembang karena adanya kemiskinan dan keadaan khusus lingkungannya seperti dataran tinggi atau kepulauan kecil, yang membutuhkan prioritas khusus serta perhatian dan perlakuan yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan kebutuhan negara-negara tersebut. Sedangkan prinsip 7 memberikan alasan adanya perbedaan perlakuan atau kewajiban yang disebabkan, pertama, perbedaan kontribusi tiap-tiap negara pada terjadinya tekanan pada lingkungan hidup; dan kedua, karena adanya perbedaan kapasitas dalam menyelesaikan masalah dan memuluskan cita-cita pembangunan berkelanjutan, secara khusus dalam hal kepemilikan dana keuangan dan kemajuan teknologinya [4].
Hukum internasional telah lama mengatur soal kewajiban bagi pelaku pencemaran lingkungan yang melewati batas suatu negara atau satu pihak ke pihak lainnya. Dikenal dengan istilah Transfrontier Pollution (TFP). Sejak awal dekade 1970-an permasalahan ini telah sering terjadi sehingga menimbulkan pemikiran tentang perlunya kesepakatan yang mengatur sekaligus mengatasi masalah tersebut. Contoh perjanjian yang telah disepakati yang mengatur masalah TFP ini adalah Perjanjian Brussel Berkenaan dengan intervensi di lautan Terbuka dalam hal Korban Pencemaran minyak (Brussels Convention Relating to Intervention on The High Seas In Cases of Oil Pollution Casualties) serta Perjanjian Pertanggungan Sipil untuk Kerusakan Karena Pencemaran Minyak (Convention on Civil liability for Oil Pollution Damage).
Dua perjanjian itu dilatarbelakangi dengan terjadinya peristiwa kandasnya kapal tanker minyak Torrey Canyon, dilepas pantai Inggris pada tahun 1967 [1]. Kedua perjanjian di atas, disetujui pada tahun 1969, menjadi pokok yang penting dalam pengaturan lingkungan hidup yang bersifat public goods atau barang umum seperti udara, air dan lautan.
Pada tahun 1972, OECD mengenalkan sebuah prinsip penting untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan hidup tersebut, yakni prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Prinsip ini pada awalnya hanya mengharuskan pada pihak pelaku pencemaran membayar semua biaya untuk mengikuti aturan dan standar lingkungan hidup yang berlaku. Hal itu tentu saja menimbulkan sikap negatif, karena banyak negara atau kalangan swasta yang dengan seenaknya melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan dengan dalih bahwa mereka telah membayar biaya tertentu untuk mengikuti berbagai macam peraturan lingkungan. Dengan kata lain, jika mereka telah mengikuti sebuah standar tertentu lingkungan, maka jika terjadi kerusakan atau pencemaran akibat aktivitasnya, ia dibebaskan dari tanggung jawab untuk ganti rugi pada korban, misalnya.
Pemanasan global yang disinyalir bisa merubah iklim global secara ekstrim ternyata lebih mempunyai dampak buruk bagi negara-negara miskin di Sub-Sahara Afrika daripada negara-negara maju. Padahal negara-negara majulah yang mempunyai kontribusi paling banyak terhadap fenomena pemanasan global daripada negara-negara lainnya, terutama dalam hal emisi gas rumah kaca yang dihasilkannya. Dengan kata lain, dengan terjadinya globalization of resources extraction, menyebabkan pihak yang menikmati keuntungan dari estraksi sumber daya itu serta pihak yang terkena imbas estraksi itu terpisah oleh batas geografi dan batas ekonomi serta keuntungan yang didapatkan oleh satu generasi, bisa jadi, menjadi kerugian pada generasi mendatang [2].
Hal itu menjadi alasan kenapa isu kerusakan lingkungan hidup ini harus menjadi tanggung jawab bersama, tanpa membedakan negara besar atau kecil, kaya atau miskin serta pelaku atau korban. Bukan berarti bahwa kewajiban hukum yang lahir kemudian karena perbedaan tindakan itu juga diandaikan sama. Pelaku pencemaran atau yang diindikasikan mempunyai kontribusi besar pada terjadinya kerusakan lingkungan global, tentu saja dan sudah menjadi keharusan, mempunyai kewajiban lebih besar daripada korban pencemaran atau yang tidak melakukan upaya-upaya perusakan lingkungan hidup.
Melihat fenomena itu, prinsip ini kemudian diperluas dengan mewajibkan kepada pelaku pencemaran untuk membayar biaya tertentu terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitasnya. Prinsip ini mewajibkan kepada pelaku untuk membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah ia telah mengikuti standar lingkungan atau tidak. Prinsip pencemar membayar ini, dalam perkembangannya dan dalam dataran tertentu, mengatur masalah tanggung jawab sebuah negara ke negara lain atas kerusakan lingkungan hidup yang diperbuatnya. Prinsip ini lahir dari kewajiban negara untuk tidak merusak lingkungan negara lain atau teritorial di luar wilayahnya serta kewajiban tiap orang untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Prinsip ini sekarang telah berlaku secara universal. Selain itu,dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih terkenal dengan sebutan KTT Bumi, yang terjadi pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil [3]. Permasalahan sebagaimana diuraikan di atas dijadikan latar belakang paradoks prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle).
Prinsip itu eksplisit dicantumkan dalam prinsip 7 Deklarasi Rio yang menegaskan bahwa negara-negara maju secara historis, bertanggung jawab atas menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup secara global akibat aktivitas pembangunan yang mereka lakukan; bahwa dengannya, pada sisi yang lain, mereka mempunyai sumber daya yang lebih baik dan lebih banyak, terutama sumber daya keuangan dan teknologi. Kedua hal itu menjadi dasar bahwa negara maju mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam memecahkan persoalan–persoalan lingkungan hidup global serta menjadi negara pertama dalam melakukan usaha-usaha demi tercapainya cita-cita internasional dalam hal pembangunan berkelanjutan.
Sementara prinsip 6 Deklarasi Rio menegaskan akan adanya kebutuhan dan situasi yang khusus di negara berkembang, terutama di negara terbelakang atau negara yang rentan secara lingkungan, yang membutuhkan prioritas khusus. Dengan kata lain, kedua prinsip itu memberikan penjelasan akan adanya kontribusi yang berbeda, yang menimbulkan kewajiban atau perlakuan yang berbeda-beda di antara negara-negara di dunia. Prinsip 6 memberikan alasan perbedaan situasi di negara berkembang karena adanya kemiskinan dan keadaan khusus lingkungannya seperti dataran tinggi atau kepulauan kecil, yang membutuhkan prioritas khusus serta perhatian dan perlakuan yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan kebutuhan negara-negara tersebut. Sedangkan prinsip 7 memberikan alasan adanya perbedaan perlakuan atau kewajiban yang disebabkan, pertama, perbedaan kontribusi tiap-tiap negara pada terjadinya tekanan pada lingkungan hidup; dan kedua, karena adanya perbedaan kapasitas dalam menyelesaikan masalah dan memuluskan cita-cita pembangunan berkelanjutan, secara khusus dalam hal kepemilikan dana keuangan dan kemajuan teknologinya [4].
Suatu
Negara Atas Negara Lain
Namun, bagaimana dengan kerusakan lingkungan yang tidak berjalan dengan rumusan suatu negara atas negara lain atau setidaknya karena melibatkan barang publik, atau dalam istilah Garrett Hardin, common-pool resources, yang sangat rumit dan komplek untuk diuraikan siapa yang paling bertanggung jawab pada kerusakan yang terjadi padanya? Contoh yang bisa dikemukakan adalah dalam hal perubahan iklim. Negara-negara maju akibat kemajuan industrinya serta tingginya standar kehidupan warga negaranya memang terbukti dan mempunyai kontribusi besar terhadap perubahan iklim global karena sumbangan gas emisi rumah kacanya; tetapi apakah hanya karena itu? Bagaimana dengan proses alam yang sungguh sulit untuk diterang dan jelaskan alur-alur kerjanya, yang mungkin saja berpengaruh pada perubahan iklim? Lalu apa kontribusi hilangnya wilayah hutan (deforestation) baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang? Bagaimana juga dengan pertambahan penduduk yang pesat, terutama di negara-negara berkembang?
Perubahan iklim menyangkut suatu proses alam yang sampai sekarang pun baru hanya bisa dikenali gejalanya saja, penyebab tepat dan jelasnya masih dalam penelitian, walaupun sudah ada beberapa faktor yang disinyalir sebagai penyebab perubahan iklim. Satu hal yang sudah disadari adalah bahwa perubahan iklim itu telah terjadi dengan melibatkan tidak sedikit proses fisika, kimia dan biologi di alam raya serta ada saling keterkaitan diantaranya. Dampaknya menyasar semua negara di dunia, tanpa kecuali [5].
Namun, bagaimana dengan kerusakan lingkungan yang tidak berjalan dengan rumusan suatu negara atas negara lain atau setidaknya karena melibatkan barang publik, atau dalam istilah Garrett Hardin, common-pool resources, yang sangat rumit dan komplek untuk diuraikan siapa yang paling bertanggung jawab pada kerusakan yang terjadi padanya? Contoh yang bisa dikemukakan adalah dalam hal perubahan iklim. Negara-negara maju akibat kemajuan industrinya serta tingginya standar kehidupan warga negaranya memang terbukti dan mempunyai kontribusi besar terhadap perubahan iklim global karena sumbangan gas emisi rumah kacanya; tetapi apakah hanya karena itu? Bagaimana dengan proses alam yang sungguh sulit untuk diterang dan jelaskan alur-alur kerjanya, yang mungkin saja berpengaruh pada perubahan iklim? Lalu apa kontribusi hilangnya wilayah hutan (deforestation) baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang? Bagaimana juga dengan pertambahan penduduk yang pesat, terutama di negara-negara berkembang?
Perubahan iklim menyangkut suatu proses alam yang sampai sekarang pun baru hanya bisa dikenali gejalanya saja, penyebab tepat dan jelasnya masih dalam penelitian, walaupun sudah ada beberapa faktor yang disinyalir sebagai penyebab perubahan iklim. Satu hal yang sudah disadari adalah bahwa perubahan iklim itu telah terjadi dengan melibatkan tidak sedikit proses fisika, kimia dan biologi di alam raya serta ada saling keterkaitan diantaranya. Dampaknya menyasar semua negara di dunia, tanpa kecuali [5].
Polluter must Pay Principle
Beberapa pemerhati lingkungan sering menyerukan adanya zero pollution untuk kondisi dunia saat ini. Namun, ahli ekonomi dan bisnis memberi respon tidak percaya akan hal tersebut. Manakah yang lebih benar? Perlu adanya asumsi pencemaran itu didefiniskan secara tepat, negara harus mengurangi kadar pencemar sebanyak-banyaknya yang dirasakan memungkinkan. Akan tetapi, jika tidak didefinisikan dengan baik pollution control dapat menjadi dalih bagi Negara untuk memperlakukan suatu peraturan pada proses industry dan transaksi ekonomi. Pada akhirnya pollution control dalam pelaksanaanya lebih dikenal sebagai polluters pay principle [6].
Ada tiga pokok pikiran yang terkandung dalam prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) bahwa pertama, penegasan pada tanggung jawab bersama dan sama tiap-tiap negara untuk melindungi lingkungan hidup baik pada pada tingkat nasional, regional maupun global; tanpa melihat negara besar atau kecil. Kedua, perhatian untuk melakukan usaha mencegah, mengurangi dan mengontrol ancaman terhadap lingkungan hidup didasarkan pada perbedaan keadaan masing-masing negara, khususnya dalam hal kontribusi tiap-tiap negara tersebut pada terjadinya pertambahan intensitas ancaman terhadap lingkungan hidup dan atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. dan yang ketiga bahwa prinsip kebijakan lingkungan yang mengharuskan biaya pencemaran harus ditanggung oleh mereka yang menyebabkan itu. Dalam munculnya aslinya Pencemar Pays Prinsip bertujuan untuk menentukan bagaimana biaya polusi pencegahan dan kontrol harus dialokasikan: pencemar harus membayar.
Bahwa dari internalisasi lingkungan eksternalitas kegiatan ekonomi, sehingga harga barang dan jasa sepenuhnya mencerminkan biaya produksi. [7] telah mengidentifikasi empat versi prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) yaitu ekonomis, mempromosikan efisiensi, secara hukum, hal itu mempromosikan keadilan, mempromosikan harmonisasi kebijakan lingkungan internasional, mendefinisikan bagaimana mengalokasikan biaya dalam suatu negara.
Tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup global itu mengindikasikan harus adanya kerja sama yang erat antar negara, terutama dengan terlibat dan mentaati perjanjian internasional yang berurusan dengan lingkungan hidup. Perjanjian internasional merupakan sarana yang cukup baik dalam merespon dan mencari titik temu negara-negara menyangkut lingkungan hidup, walaupun banyak perjanjian internasional yang mengatur masalah lingkungan hidup yang tidak berjalan dengan baik karena tidak ada sanksi global yang tegas bagi yang melanggar atau yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup global itu berasal dari serangkaian hukum internasional yang mengatur masalah sumber daya alam yang diistilahkan sebagai perhatian bersama (common concern) atau warisan bersama umat manusia (common heritage of humankind). Istilah ini dikenakan pada sumber daya alam yang dibagi dan dinikmati bersama, baik yang ada dalam yurisdiksi suatu negara atau tidak; yang menjadi kepentingan hukum bersama serta memberikan kontribusi penting bagi manusia dan sistem biosphere bumi.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa semua negara, tanpa terkecuali mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melindungi lingkungan hidup serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan, namun karena ada perbedaan sosial, ekonomi, kemajuan teknologi dan kontribusinya pada terjadinya kerusakan lingkungan hidup global serta kondisi lingkungan hidupnya, masing-masing negara harus membagi beban serta kewajiban yang berbeda-beda.
Prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) sebenarnya berintikan pada persamaan (equality), bahwa sebagaimana dicantumkan dalam prinsip 7 Deklarasi Rio, beban terbesar dalam hal perlindungan lingkungan global dibebankan pada negara-negara maju karena dipandang sebagai negara-negara yang paling bertanggung jawab dalam hal perusakan lingkungan hidup global serta karena kekayaan finansial dan kemajuan teknologi yang dimilikinya.
Sementara itu negara-negara berkembang, terutama negara-negara terbelakang dan yang secara lingkungan rentan, mendapatkan perlakuan berbeda karena keadaan ekonominya atau penguasaan pada teknologi yang terbatas. Keadaan negara negara-negara berkembang itu, pada sisi yang lain, juga membutuhkan bantuan, baik keuangan ataupun transfer teknologi dari negara-negara maju. Prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) dalam implementasinya memerlukan dua pendekatan kebijakan yang berbeda: command-and-control dan market-based.
Jelaslah bahwa prinsip ini menekankan pada terjadinya kerja sama internasional serta berbagi beban (burden sharing) yang mencoba menetralkan kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan kelemahan dari mekanisme pasar yang gagal dalam mengakomodasi biaya eksternal atau biaya lingkungan. Jadi prinsip Prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) berusaha untuk memasukkan biaya ekternal ke dalam pertimbangan negara pencemar dalam perhitungan biaya produksinya. Kiranya dapat dirasakan bahwa keadilan itu ada apabila suatu negara pencemar melakukan pembayaran penuh atas biaya kerusakan lingkungan global yang ditimbulkan oleh kegiatan negara tersebut. Tentunya ini merupakan bentuk kompromi terbaik dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup global. Semoga.
Beberapa pemerhati lingkungan sering menyerukan adanya zero pollution untuk kondisi dunia saat ini. Namun, ahli ekonomi dan bisnis memberi respon tidak percaya akan hal tersebut. Manakah yang lebih benar? Perlu adanya asumsi pencemaran itu didefiniskan secara tepat, negara harus mengurangi kadar pencemar sebanyak-banyaknya yang dirasakan memungkinkan. Akan tetapi, jika tidak didefinisikan dengan baik pollution control dapat menjadi dalih bagi Negara untuk memperlakukan suatu peraturan pada proses industry dan transaksi ekonomi. Pada akhirnya pollution control dalam pelaksanaanya lebih dikenal sebagai polluters pay principle [6].
Ada tiga pokok pikiran yang terkandung dalam prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) bahwa pertama, penegasan pada tanggung jawab bersama dan sama tiap-tiap negara untuk melindungi lingkungan hidup baik pada pada tingkat nasional, regional maupun global; tanpa melihat negara besar atau kecil. Kedua, perhatian untuk melakukan usaha mencegah, mengurangi dan mengontrol ancaman terhadap lingkungan hidup didasarkan pada perbedaan keadaan masing-masing negara, khususnya dalam hal kontribusi tiap-tiap negara tersebut pada terjadinya pertambahan intensitas ancaman terhadap lingkungan hidup dan atau kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. dan yang ketiga bahwa prinsip kebijakan lingkungan yang mengharuskan biaya pencemaran harus ditanggung oleh mereka yang menyebabkan itu. Dalam munculnya aslinya Pencemar Pays Prinsip bertujuan untuk menentukan bagaimana biaya polusi pencegahan dan kontrol harus dialokasikan: pencemar harus membayar.
Bahwa dari internalisasi lingkungan eksternalitas kegiatan ekonomi, sehingga harga barang dan jasa sepenuhnya mencerminkan biaya produksi. [7] telah mengidentifikasi empat versi prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) yaitu ekonomis, mempromosikan efisiensi, secara hukum, hal itu mempromosikan keadilan, mempromosikan harmonisasi kebijakan lingkungan internasional, mendefinisikan bagaimana mengalokasikan biaya dalam suatu negara.
Tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup global itu mengindikasikan harus adanya kerja sama yang erat antar negara, terutama dengan terlibat dan mentaati perjanjian internasional yang berurusan dengan lingkungan hidup. Perjanjian internasional merupakan sarana yang cukup baik dalam merespon dan mencari titik temu negara-negara menyangkut lingkungan hidup, walaupun banyak perjanjian internasional yang mengatur masalah lingkungan hidup yang tidak berjalan dengan baik karena tidak ada sanksi global yang tegas bagi yang melanggar atau yang tidak melaksanakan kewajibannya.
Tanggung jawab bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup global itu berasal dari serangkaian hukum internasional yang mengatur masalah sumber daya alam yang diistilahkan sebagai perhatian bersama (common concern) atau warisan bersama umat manusia (common heritage of humankind). Istilah ini dikenakan pada sumber daya alam yang dibagi dan dinikmati bersama, baik yang ada dalam yurisdiksi suatu negara atau tidak; yang menjadi kepentingan hukum bersama serta memberikan kontribusi penting bagi manusia dan sistem biosphere bumi.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa semua negara, tanpa terkecuali mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melindungi lingkungan hidup serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan, namun karena ada perbedaan sosial, ekonomi, kemajuan teknologi dan kontribusinya pada terjadinya kerusakan lingkungan hidup global serta kondisi lingkungan hidupnya, masing-masing negara harus membagi beban serta kewajiban yang berbeda-beda.
Prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) sebenarnya berintikan pada persamaan (equality), bahwa sebagaimana dicantumkan dalam prinsip 7 Deklarasi Rio, beban terbesar dalam hal perlindungan lingkungan global dibebankan pada negara-negara maju karena dipandang sebagai negara-negara yang paling bertanggung jawab dalam hal perusakan lingkungan hidup global serta karena kekayaan finansial dan kemajuan teknologi yang dimilikinya.
Sementara itu negara-negara berkembang, terutama negara-negara terbelakang dan yang secara lingkungan rentan, mendapatkan perlakuan berbeda karena keadaan ekonominya atau penguasaan pada teknologi yang terbatas. Keadaan negara negara-negara berkembang itu, pada sisi yang lain, juga membutuhkan bantuan, baik keuangan ataupun transfer teknologi dari negara-negara maju. Prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) dalam implementasinya memerlukan dua pendekatan kebijakan yang berbeda: command-and-control dan market-based.
Jelaslah bahwa prinsip ini menekankan pada terjadinya kerja sama internasional serta berbagi beban (burden sharing) yang mencoba menetralkan kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan kelemahan dari mekanisme pasar yang gagal dalam mengakomodasi biaya eksternal atau biaya lingkungan. Jadi prinsip Prinsip pencemar membayar (polluter must pay principle) berusaha untuk memasukkan biaya ekternal ke dalam pertimbangan negara pencemar dalam perhitungan biaya produksinya. Kiranya dapat dirasakan bahwa keadilan itu ada apabila suatu negara pencemar melakukan pembayaran penuh atas biaya kerusakan lingkungan global yang ditimbulkan oleh kegiatan negara tersebut. Tentunya ini merupakan bentuk kompromi terbaik dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup global. Semoga.
Keterangan
[*]
Mahasiswa Mayor SPL S3 Sekolah Pascasarjan IPB. NRP
C262110061.
REFERENSI:
[1]
Hardjasoemantri, K. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Hal 391-392. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
[2]
Burger, J dan Gochfeld, M. 1998. The Tragedy of Commons: 30 Year later,
Environment, Volume 40 No. 10 December 1998. Dikunjungi tanggal 3 Januari 2012.
http://www.astepback.com/GEP/Tragedy%20of%20the%20Commons%20at%2030%20yrs.pdf
[3]
Haas P M, Levy M A dan Parson E A. 1992. Appraising the Earth Summit: How should we
judge UNCED's success? Environment 34 (8): 6-11, 26-33. Dikunjungi
tanggal 4 Januari 2012. http://www.ciesin.org/docs/008-570/008-570.htm
[4] Stone, C D. 2002. Common But
Differentiated Responsibilities: A Legal, Economics and Ethical Critique. Prepared for 4th
International Symposium of the ICECA (International Center for Environmental
Compliance Assessment) on "Common but Differentiated Responsibilities in
the Protection of the Global Climate" at Kagawa University, Takamatsu,
Japan, December 13-15, 2002. Dikunjungi tanggal 4 Januari 2012. http://weblaw.usc.edu/centers/cleo/workshops/02-03/stone.pdf
[5] Matthews. S. W.
1990. Under the Sun -- Is Our World Warming? National Geographic. 178(4): 66-99
[6] Adler, J. H. 1995. Making the
Polluter Pay. The Freeman Ideas on Liberty. Volume:45. Issue:3. Dikunjungi
tanggal 5 Januari 2012. http://www.thefreemanonline.org/featured/making-the-polluter-pay/
[7] Lucia VD
2010. Polluter pays principle. In: Encyclopedia of Earth. Eds. Cutler J.
Cleveland (Washington, D.C.: Environmental Information Coalition, National
Council for Science and the Environment). Dikunjungi tanggal 4 Januari 2012. http://www.eoearth.org/article/Polluter_pays_principle
Post a Comment