Oleh Yar Johan
"Pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan laut secara optimal berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaan wilayah pesisir dilakukan secara terpadu dengan definisi yang jelas. Salah satu kunci dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu tersebut adalahadanya visi, tujuan dan sasaran bersama (common vision, goals and target), serta batasan-batasan pengelolaan pesisir wilayah".
Dalam satu dekade belakangan ini, laju
kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Kerusakan fisik sumberdaya pesisir umumnya terjadi pada ekosistem mangrove,
terumbu karang dan rumput laut. Berdasarkan survei line transect penutupan
karang hidup, 6,20 % terumbu karang Indonesia yang masih berada dalam kondisi
sangat baik, 23.72 % dalam kondisi baik, 28.30 % kondisi sedang dan 41.78 %
dalam kondisi rusak (Suharsono 1998). Dari kondisi terumbu karang tersebut,
ternyata terumbu karang di kawasan barat Indonesia memiliki kondisi yang lebih
buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan tengah dan timur Indonesia.
Kerusakan terumbu karang umumnya
disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, yaitu penggunaan
bahan-bahan peledak, bahan beracun cyanida, dan juga aktivitas penambangan
karang untuk bahan bangunan, pembuangan jangkar perahu, dan sedimentasi akibat
meningkatnya erosi dari lahan atas. Kegiatan perikanan destruktif ini tidak
hanya dilakukan oleh nelayan tradisional, tetapi juga oleh nelayannelayan modern, dan juga nelayan asing yang melakukan kegiatan
pencurian ikan di perairan nusantara.
Nasib yang sama juga terjadi pada
ekosistem hutan mangrove. Selama periode 1982-1993 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari
sekitar 4 juta Ha menjadi sekitar 2,5 juta Ha (Dahuri et al 1996). Penyebab penurunan luasan mangrove tersebut adalah
karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi
peruntukan lain seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan
pemukiman di kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove untuk kebutuhan
kayu bakar, arang dan bahan bangunan. Konversi mangrove menjadi tambak secara
besar-besaran terjadi di Propinsi Sunatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, konversi lahan mangrove
menjadi kawasan industri dan pemukiman umum terjadi di kawasan padat penduduk
seperti DKI Jakarta, Tanggerang dan Bekasi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Lampung Timur.
Rusaknya ekosistem mangrove dan
terumbu karang tersebut telah mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan sumberdaya ikan serta erosi
pantai. Penurunan kualitas lingkungan ini menyebabkan banyak tambak tidak
berfungsi dengan baik, rusaknya tempat pemijahan ikan (spawning ground)
berkurangnya populasi benur dan nener, serta berkurangnya daerah asuhan
perikanan (nursery ground). Erosi pantai juga diperburuk oleh perencanaan dan
pengembangan wilayah pesisir yang tidak tepat, pengambilan pasir pantai untuk
reklamasi, hotel dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menutup garis
pantai dan perairannya.
Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan Indonesia pada saat ini telah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Beban pencemaran (pollution load) di Indonesia dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu kategori dengan tingkat pencemaran tinggi, tingkat pencemaran sedang, dan tingkat pencemaran rendah. Kawasan dalam kategori dengan tingkat pencemaran yang tinggi adalah Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung, dan Sulawesi Selatan; kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang adalah Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, di Aceh, Sumatera Barat, Jambi, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Maluku; sedangkan kawasan yang termasuk kategori tingkat pencemaran rendah dalah Irian Jaya, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Nusa TenggaraTimur.
Sumber
utama pencemaran pesisir dan lautan berasal dari darat (land-based pollution sources) (UNEP 1995) yang terdiri dari tiga
jenis, yaitu dari kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan
pertanian. Sementara itu, bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah dari
ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, logam beracun, dan sampah. Jika dianalisis secara mendalam, dapat
disimpulkan bahwa kawasan-kawasan yang masuk dalam kategori dengan tingkat
pencemaran yang tinggi merupakan kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk,
kawasan industri dan juga pertanian.
Dalam
banyak kasus, pendekatan pembangungan sektoral tidak mempromosikan penggunaan
sumberdaya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya memperhatikan keuntungan sektornya dan
mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain. Sehingga
berkembang konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan lautan karena belum
adanya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor yang dapat
dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan.
Pada
dasarnya hampir di seluruh kawasan pesisir dan lautan Indonesia terjadi
konflikkonflik antara berbagai kepentingan. Penyebab utama dari konflik
tersebut, adalah karena tidak adanya aturan yang jelas
tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi sumberdaya yang terdapat
di kawasan pesisir dan lautan. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai
tujuan, target dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir. Perbedaan
tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan
SDK (user conflict) dan konflik kewenangan (jurisdictional conflict).
(Cincin-Sain and Knetch 1998).
Sebagai
contoh adalah konflik penggunaan ruang yang terjadi di Pantai Indah Kapuk Jakarta yaitu ruang untuk konservasi
mangrove dengan pembangunan lapangan golf dan pemukiman mewah, konflik nelayan
tradisional dengan trawl, konflik antara kepentingan untuk konservasi dengan
pariwisata di Taman Laut Kepulauan Seribu. Di perairan Taman Nasional Bunaken,
sektor perikanan bertujuan meningkatkan produksi ikan tangkap. Sektor
pariwisata bertujuan meningkatkan jumlah wisatawan yang melakukan snorkelling
dan scuba diving. Pengembang bertujuan membangun kota pantai Manado yang bisa
menikmati keindahan Pulau Manado Tua dan Bunaken, sementara Balai Pengelola TNL
Bunaken ingin mengkonservasi keanekaragaman hayatilautnya (Manado Post 1997).
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, masingmasing pihak menyusun
perencanaan sendiri-sendiri, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Perencanaan dari berbagai sektor ini sering tumpang tindih dan dan masingmasing
berkompetisi memanfaatkan ruang yang sama. Tumpang tindih perencanaan dan
kompetisi pemanfaatan sumber ini memicu munculnya konflik pemanfaatan antar berbagai
pelaku dan konfik kewenangan antar instansi yang berkepentingan (Sapta Putra
1998).
Hal lain
yang sering terjadi adalah ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir
(Bromley dan Cernea 1989). Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open
access property resources), tetapi berdasarkan undang-undang pokok perairan No.
6/1996 milik pemerintah (state property). Berbagai stakeholder mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini untuk
kepentingannya, jika tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, sehingga
tidak ada insentif untuk melestarikannya, sehingga dalam pemanfaatannya terjadi
the tragedy of commons (Hardin 1968). Untuk itu pemerintah berwenang mengatur
mekanisme pemanfaatannya.
Penanganan
wilayah pesisir terpadu harus dimulai dari perencanaan. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu merupakan
dasar bagi penyusunan dan alat koordinasi dari berbagai perencanaan pesisir
yang bersifat sektoral dan dunia usaha yang menjadi asosiasinya serta
perencanaan pembangunan daerah. Setiap daerah memiliki karakteristik, sosial
budaya dan biogeofisik lingkungan pesisirnya serta kebijakan pembangunan daerah
yang berbeda. Sehingga yang disusun setiap daerah akan berbeda dalam hal penentuan
prioritas kebijakan, ruang lingkup dan tingkat rincian, tetapi pendekatan yang
digunakan dan unsur-unsur Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu tetap sama
Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wilayah
Pesisir Terpadu
1. Integrasi Perencanaan Sektor Secara
Horisontal
Integrasi
perencanaan horisontal, mengintegrasikan perencanaan dari Sektor Pertanian dan
Konservasi yang berada di DAS hulu, Sektor Perikanan baik budidaya tambak udang
dan ikan maupun perikanan tangkap, Pariwisata alam dan bahari, Perhubungan
Laut, Industri Maritim, Pertambangan Lepas Pantai, Konservasi Laut, dan Pengembangan Kota.
2. Integrasi Perencanaan Secara
Vertikal
Integrasi
Perencanaan Vertikal meliputi integrasi kebijakan operasional dan perencanaan
mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kodya, Propinsi, sampai Nasional.
3. Integrasi antara ekosistem
terestrial dengan marine.
Perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir terpadu, menggunakan pendekatan batas-batas ekologis, dengan
menempatkan Daerah Aliran Sungai sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak
dari kegiatan pertanian dan industri serta pembangunan perkotaan di DAS hulu
perlu diperhitungkan.
4. Integrasi antara Sains dan
Manajemen
Perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir terpadu, perlu didasarkan pada input sain yang
memberikan berbagai alternative rekomendasi bagi pengambilan keputusan yang
relevan sesuai dengan kondisi karakteristik yang sosial-ekonomi budaya dan
biogeofisik lingkungannya.
5. Integrasi antara negara
Pada
wilayah pesisir di perbatasan antar negara perlu di integrasikan kebijakan
masing-masing negara, seperti di Selat Malaka.
1 comments:
nice post,
Replysekarang konservasi bisa kita lakukan sambil berwisata, silahkan kunjungi balik dan buktikan sendiri
Post a Comment