oleh Yar Johan
"Tataruang Pesisir merupakan salah satu alat (tool) pengelolaan sumberdaya pesisir jika diterapkan secara konsisten. Dalam penyusunana tataruang yang baik, seharusnya dilihat dulu kegiatan apa yang menjadi leading sektor di wilayah pesisir"
Jika leading
sektornya perikanan, maka ditetapkan zona dimana kegiatan yang dominan adalah
perikanan, serta membolehkan kegiatan lain yang bersifat mendukung (sinergis).
Lalu tataruang di daratnya mengikuti fokus dari tataruang di pesisir, sehingga
kegiatan industri yang limbahnya dapat merusak budidaya perikanan di pesisir
tidak diizinkan. Zona merupakan suatu ruang wilayah pesisir yang ditetapkan
untuk menyatukan kegiatan-kegiatan yang sinergis dan saling mendukung serta
memilah kegiatan yang bertentangan (imcompatibel). Pada zona yang telah ditetapkan maka diprioritaskan
pembangunan prasarana pendukung kegiatan-kegiatan yang dizinkan di zona
tersebut dan Pemda menyeleksi industri lainnya yang akan masuk ke wilayah
pesisir tersebut.
Sehingga industri yang diizinkan
dapat beroperasi secara koeksistensi dan sinergis dengan kegiatan yang ada.
Kegiatan yang tidak sinergis atau imcompatible harus ditolak atau dipindah,
agar tidak saling menghancurkan. Dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,disebutkan bahwa Ruang
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dannruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk
lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata
ruang adalah wujud struktur ruang dan polaruang. Penataan ruang adalah suatu
sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional.
Menurut Budiharsono (2001), Ruang
merupakan hal yang penting dalam pembangunan wilayah. Konsep ruang mempunyai
beberapa unsur, yaitu : ( 1) jarak; (2) lokasi; (3) bentuk; dan (4) ukuran.
Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dn
segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu.
Unsur-unsur tersebt di atas secara bersama-sama menyusun unit tataruang yang
disebut wilayah. Dalam kerangka perencanaan wilayah, yang dimaksud dengan ruang
wilayah adalah ruang pada permukaan bumi dimana manusia dan makhluk lainnya
dapat hidup dan beraktivitas.
Perencanaan ruang wilayah adalah perencanaan
penggunaan/pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah perencanaan
penggunaan lahan (land use planning) dan perencanaan pergerakan pada ruang
tersebut. Perencanaan ruang wilayah pada dasarnya adalah menetapkan ada
bagian-bagian wilayah (zona) yang dengan tegas diatur penggunaanya (jelas
peruntukannya) dan ada bagian-bagian wilayah yang kurang/tidak diatur
penggunaannya. Bagi bagian wilayah yang tidak diatur penggunaannya maka
pemanfaatannya diserahkan kepada mekanisme pasar.
Perencanaan pemanfatan ruang wilayah
adalah agar pemanfaatan ini dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya
kepada masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang termasuk menunjang
daya pertahanan dan terciptanya keamanan (Tarigan, 2005). Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan
dengan aspek-aspek sebaran sumberdya dan aktifitas pemanfaatannya menurut
lokasi, setiap aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat
penyebaran yang berbeda-beda pula. Secara lebih tegas, penataan ruang dilakukan
sebagai upaya : (1) Optimasi pemanfaatn sumberdaya (mobilisasi dan alokasi
pemanfaatan sumberdaya): (Prinsip efisiensi dan produktifitas), (2) Alat dan
wujud distribusi sumberdaya: asas pemerataan, keberimbangan dan keadilan, dan
(3) Keberlanjutan (sustainabillity) (Rustiadi et al. 2005).
Ada dua hal pokok yang perlu di pertimbangkan dalam penataan ruang wilayah untuk pengelolaan sumberdaya hayati pesisir
dan laut. yakni: pertama, adalah
berkenaan dengan upaya pengembangan
kegiatan sosial-ekonomi dan
kedua yaitu berkaitan dengan daya
dukung lingkungan. Pada hakekatnya kedua hal tersebut perlu dipertemukan sehingga dapat diperoleh optimasi
pemanfaatan sumberdaya alam yang dikaitkan dengan usaha pemerataan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan juga berdasarkan atas pertimbangan pembangunan
yang berkelanjutan.
Setiap usaha yang berkitan dengan pengembangan
kegiatan ekonomi maupun sosial, umumnya akan selalu membutuhkan sejumlah
sumberdaya alam tertentu yang di peroleh dari suatu lingkungan geographis. Sesuai dengan
sifat alamnya, suatu lingkungan geographis
akan di hadapkan pada faktor keterbatasa”
atau limitasi.
Apabila ditinjau dari sisi pengembangan kegiatan ekonomi, peranan dari lingkungan geographis ini
dapat di pandang sebagai aspek supply dan tidak selalu dapat menunjang kebutuhan pengembangan kegiatan sosial-ekonomi yang
berada di atasnya.
Hubungan antara pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dengan lingkungan
geographis (lihat Gambar 1) tidak selamanya harmonis. Hal ini disebabkan
karena pada umumnya kegiatan sosial-ekonomi, yang mana dapat di kenali sebagai aspek demand, berkembang jauh lebih pesat dibanding dengan ketersediaan
sumberdaya pendukungnya. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka pada tingkat daya dukung tertentu, seyogyanya
perkembangan kegiatan sosial-ekonomi perlu di batasi agar dapat dicegah atau
dikurangi dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, seperti misalnya:
meningkatnya polusi, erosi, pengerusakan landscape, hilangnya biodata penting, dsb. Pada hakekatnya, phenomena
dari dampak negatif lingkungan
disebabkan karena setiap perkembangan kegiatan
sosial-ekonomi akan menimbulkan side-effect dan hal ini merupakan respon dari pada adanya kepekaan
sumberdaya yang ada.
Disisi lain, setiap upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi akan
menuntut adanya suatu resources
requirement berdasarkan atas spesifikasi
kegiatan sosial-ekonomi yang akan dikembangkan. Hal ini merupakan respon dari adanya pemanfaatan sumberdaya yang
ada (utility of existing resources).
Pada prinsipnya, pendekatan yang dilakukan dalam
penataan ruang wilayah pesisir Kota Sabang ditekankan pada upaya
mengenali peluang pengembangan dari berbagai
macam kegiatan dengan memperhatikan
akibat lingkungan dan ekonomi yang mungkin timbul. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam
melakukan penataan ruang wilayah bagi
pengelolaan pesisir dan laut ada lima
tahapan analisa yang perlu dilakukan, yakni: 1). Melakukan
analisa terhadap peran sumberdaya yang ada (analysis
of potential role of resources), 2). Melakukan
analisa dampak yang timbulkan (analysis
of side effects), 3). Menganalisa sensitivitas dari sumberdaya yang ada (analysis of sensitivity of resources),
4). Melakukan analisa terhadap akibat
pembangunan (analysis of potential
consequences of development), dan 5). Melakukan
analisa konflik (analysis of conflicts)
Kelima
pendekatan analisis tersebut, pada hakekatnya ditujukan untuk dapat mengambil keputusan
pembangunan yang optimal. Berkaitan dengan
upaya penataan ruang bagi pengelolaan sumberdaya hayati pesisir dan lautan,
perhatian terhadap upaya menjaga kapasitas
daya dukung lingkungan menjadi sangat penting artinya. Untuk itu ada
empat dimensi lingkungan yang perlu dikenali agar keputusan pembangunan yang
diambil dapat mencerminkan nuansa pembangunan yang berkelanjutan, yakni: 1). Teritorial yaitu
dimana dapat menunjukkan area yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan
suatu kegiatanl, 2). Quantitative yaitu dimana dapat menunjukan besaran kegiatan yang akan
dikembangkan, 3). Qualitative yaitu
dimana dapat menunjukan jenis kegiatan yang akan dihasilkan, 4). Temporal yiatu dimana dapat menunjukkan tingkat perkembangan yang
dapat ditoleransi.
PRINSIP-PRINSIP PENATAAN RUANG WILAYAH BAGI PENGELOLAAN
SUMBERDAYA HAYATI PESISIR DAN LAUT
1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku
Pembangunan
Hal ini penataan ruang dapat dilihat
sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku
pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang wilayah
pesisir, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan
akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan.
Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak
menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang
mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses
penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai
kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga
cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.
2. Kompensasi
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada
daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa
sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap
daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi
pada semua bidang Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan
otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal
keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena
itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang
berlaku secara umum
4. Menentuan
Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif
Prinsip
pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu
membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif.
Clark (1976)
mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai
berikut : 1. Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis
sangat kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona
preservasi dan daerah pemanfaatan intensif, 2. Zona preservasi adalah zona yang
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik baik itu rekreasi, ekonomi,
estetika maupun daerah proteksi banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk
dilindungi dari kegiatan pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk
didalamnya mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir.
3. Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun,
daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang
kecil
5. Penentuan Sektor Unggulan
Sektor unggulan
merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada
zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria,
yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak.
6. Penentuan Struktur Tata Ruang
Struktur
tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang
membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan
sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan
ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi (
seperti tenaga kerja, kapital, teknologi ) dan memiliki eksternalitas negatif
baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan
bentang alam.
7. Tata Ruang
Sistem Wilayah Aliran Sungai
Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam
sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di
wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi
pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona
preservasi di wilayah pesisir.
8. Jarak antar
Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan
penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran dan
sedimen) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari
sumbernya, yaitu
St = Vt x
t
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
9.
Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan
melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya. Penataan ruang
juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional dan hak-hak
lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat.
Penataan ruang
merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar
pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga
menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik
antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi
positif dan tidak mengganggu Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam perencanaan
tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk
rencana, yaitu
1). Konsensus, adanya peran serta aktif dan
kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunan di dalam penyusunan rencana
makro
2). Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan
rencana-rencana pada tingkat
3). Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan
ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di
atas
4). Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan
kepastian hukum Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak
yang ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap
biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.
Pemerintah dalam
hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil
keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator
dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih didekatkan
kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan sehingga pengelolaan sumberdaya
hayati pesisir dan laut terwujud.
Post a Comment