MENARA GADING PERGURUAN TINGGI???

Oleh Yar Johan
 
Kali ini saya ingin mengulas artikel yang menurut saya menarik untuk dikaji. Alasannya yang pertama kebetulah penulisnya beliau adalah Rektor saya dan yang kedua kampus yang dipimpinnya merupakan salah satu Perguruan terbaik di negeri ini. Baru baru ini masuk di salah satu 8 PT yang akreditasii institusinya mendapatkan nilai A (375) terpaut 3 angka dengan UGM yang berhasil di posisi pertama (378). Selamat atas keberhasilan tersebut. Iya moga IPB tetap memang memberi dan mencari yang terbaik untuk bangsa ini.

Benarkah ada salah persepsi otonomi perguruan tinggi terjadi dikalangan masyarakat dan bahkan terjadi juga di Pimpinan PTN? Bila di masyarakat tentunya kewajiban pemerintah untuk mensosialisasikan kebijakan tersebut dan perguruan tinggi benar-benar terlibat di dalamnya. Jangan kebijakan sudah diputuskan atau kebijakan baru bermasalah dicari kambing hitamkan masyarakat yang tidak paham. Iya tentu ujung-ujungnya masyarakat yang kurang mampu yang menjadi korban. Bagaimana dengan Pimpinan PTN sendiri? Bila salah mempersepsikan tentu hal ini sangat patal. Karena apa lacur bila pimpinan intelektual tidak memahami hal ini. Kejahatan intelektual yang sangat bejat! Seharusnya Pimpinan PTNlah yang harus lebih pahami bahwa kebijakan ini untuk membantu peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan bangsa ini. Pendidikan harus berpihak pada rakyat kecil, kaum papa.  Saya memang tidak begitu memamahi tentang RUU yang menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Bila benar adanya ada hal yang tak beres dalam kebijakan ini. Pimpinan PTN harus mengembalikan hasil rampokan pada rakyat yang tak mampu. Atau memang sejak awal sistem pendidikan kitalah yang salah. Saya hanya menyebutkan benarkah ini menara gading perguruan tinggi di bangsa yang lagi galau? Harapan saya kehadiran UU ini tidak menciptakan kejahatan intelektual. Sudah cukup air mata pertiwi menangis karena generasinya tak layak tempat dalam menimba ilmu buat bangsanya sendiri. Ilmu adalah kewajiban pemerintah yang harus memberi. Silakan dibaca artikel lengkapnya di bawah ini.
 

Salah Persepsi Otonomi Perguruan Tinggi
 
Oleh Herry Suhardiyanto
KOMPAS | Sabtu, 30 Maret 2013


Opini Thee Kian Wie di Kompas (21/3) menyebutkan keberatan Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro dan Prof Sofian Efendi terhadap RUU yang menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Sebetulnya keberatan mereka adalah ketika RUU tersebut belum mengakomodasi kebutuhan otonomi perguruan tinggi badan hukum. Setelah RUU tersebut disempurnakan dan disahkan oleh DPR menjadi UU yang mencantumkan opsi Perguruan Tinggi Negeri badan hukum (PTN bh) justru mereka sangat mendukung UU tersebut.
Sebetulnya, Kompas (6/3) tepat menurunkan Tajuk Rencana tentang otonomi perguruan tinggi dengan mengusulkan agar UU tersebut tidak dibatalkan. Memang opini tentang otonomi perguruan tinggi sedang menghangat, tetapi sering diwarnai dengan persepsi yang salah.

Kesalahan persepsi

Mengapa otonomi perguruan tinggi dipersoalkan? Jawabannya adalah karena salah persepsi tentang otonomi perguruan tinggi. Salah persepsi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat, tetapi juga pimpinan PTN. Masyarakat mengira implementasi otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan PTN menganggap otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa.
Otonomi bukanlah komersialisasi. Karena itu, hal-hal yang dapat membuat masyarakat salah paham, seperti formulir kesanggupan menyumbang, harus ditiadakan. Orangtua mencantumkan kesanggupan membayar yang lebih besar karena beranggapan bisa membuka peluang lebih besar agar anaknya diterima sebagai mahasiswa baru. Calon mahasiswa yang tidak diterima pun bisa berpersepsi bahwa angka sumbangan yang diisikan dalam formulir terlalu kecil. Padahal, sangat boleh jadi dia tidak diterima memang karena nilai ujiannya tidak masuk nilai persyaratan terendah program studi pada PTN yang bersangkutan. Kebijakan pemerintah tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan jawaban atas persoalan ini. Dengan UKT, tidak ada lagi uang pangkal atau sebutan lain yang harus dibayar mahasiswa pada proses penerimaan mahasiswa baru. Kebijakan ini menentukan bahwa jumlah dana pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa setiap semester adalah sama selama studi.

Akses dan mutu

Mengenai akses dan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, bangsa kita dapat memilih satu dari empat pilihan, yaitu (1) akses sempit dan mutu rendah, (2) akses luas dan mutu rendah, (3) akses sempit dan mutu tinggi, dan (4) akses luas dan mutu tinggi. Pilihan 1, 2, dan 3 tidak sesuai dengan UUD 1945.
Pilihan 2, yaitu membuka akses yang seluas-luasnya tanpa peningkatan mutu pendidikan, merupakan pilihan yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menghasilkan lulusan sebanyak-banyaknya, tetapi tidak kompeten. Pilihan 3, mencapai mutu tinggi dengan cara menggantungkan pendanaan dari mahasiswa, mempersempit akses pendidikan. Pilihan ini akan mengakibatkan pendidikan tinggi di PTN hanya dinikmati kaum elite secara ekonomi.
Pilihan yang sesuai konstitusi adalah pilihan 4, yaitu akses yang luas pada pendidikan bermutu tinggi. Pilihan ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan para pendiri negara kita sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sejalan dengan pandangan peran perguruan tinggi sebagai wahana penempaan calon pemimpin bangsa.

Otonomi sebagai solusi

Tujuan perluasan akses adalah semangat mewujudkan pendidikan untuk semua. Masalah yang sering dihadapi adalah persoalan keterjangkauan. Solusinya adalah komitmen pemerintah dalam menetapkan alokasi anggaran memadai sebagaimana sudah dilaksanakan dengan program Bantuan Pendidikan untuk Mahasiswa Miskin (Bidikmisi), Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri, beasiswa, dan sebagainya.
Selain itu, perlu ada peraturan tegas tentang kontribusi maksimum biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Karena itu, cara pandang menangani persoalan akses dengan menghapus otonomi PTN badan hukum adalah tidak relevan dan salah alamat. Hal ini seperti memanen padi dengan peniti.

Tujuan peningkatan mutu adalah terwujudnya keunggulan akademik dan relevansi terhadap kebutuhan masyarakat. Tantangan yang harus dihadapi adalah proses transformasi PTN dalam membangun atmosfer akademik yang baik, tata kelola yang sehat, dan penerapan prinsip-prinsip manajemen modern yang berlaku universal. Otonomi memungkinkan terjadinya perubahan budaya kerja yang berorientasi pada peningkatan mutu untuk melahirkan prestasi tinggi dan kinerja unggul.
Kunci keberhasilan PTN adalah proses pengambilan keputusan secara bermartabat dan partisipatif berdasarkan kebenaran yang berbasis data dan fakta. Dalam PTN bh, terbuka kesempatan bagi masyarakat untuk berperan dalam proses tata kelola melalui anggota Majelis Wali Amanat (MWA). MWA memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan penting, seperti Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan, termasuk mengangkat dan memberhentikan rektor.
Lalu, mengapa harus ada opsi PTN bh? Jawabannya adalah karena peran masyarakat hanya mungkin terwujud bila ada opsi PTN bh sebagaimana dinyatakan dalam UU. Badan hukum dimaknai sebagai fungsi dan bukan bentuk, sebagaimana amar putusan MK yang membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan.
 
Herry Suhardiyanto Rektor Institut Pertanian Bogor; Sekretaris Jenderal Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI)

Post a Comment