Pekerja Kerang hijau (Republika) |
Kerang
hijau (Perna viridis) merupakan salah satu komoditi perikanan yang telah lama dibudidayakan
sebagai salah satu usaha sampingan masyarakat pesisir. Teknik budidayanya mudah
dikerjakan, tidak memerlukan modal yang besar dan dapat dipanen setelah berumur
6 – 7 bulan. Hasil panen kerang hijau per hektar per tahun dapat mencapai 200 –
300 ton kerang utuh atau sekitar 60 – 100 ton daging kerang. Oleh karena kerang
hijau bersifat filter feeder non selective dan sessile (menetap) maka kandungan
logam berat yang relatif cukup tinggi ditemukan dalam tubuhnya karena adanya
akumulasi logam berat tersebut. Kerang genus viridis ini sering disebut highly spesialized filter feeder dan
digunakan sebagai bioindikator pencemaran perairan karena biota ini bersifat
menetap, penyebarannya luas, masih mampu hidup pada daerah tercemar, dapat
mengakumulasi logam berat dengan faktor konsentrasi sebesar 105.
Kerang hijau (Perna viridis)
merupakan salah satu komoditas dari kelompok shellfish yang sudah dikenal
masyarakat, di samping kerang darah (Anadara sp), kijing Taiwan (Anodonta sp),
dan kerang bulu. Kerang hijau adalah salah satu hewan laut yang sudah lama
dikenal sebagai sumber protein hewani yang murah, kaya akan asam amino esensial
(arginin, leusin, lisin). Kerang hijau mengandung daging sekitar 30% dari berat
keseluruhan, yang mengandung mineral-mineral kalsium, fosfat, besi, yodium, dan
tembaga.
Permintaan pasar lokal meningkat, maka usaha budidaya kerang hijau makin diintensifkan,
khususnya di pantai utara Pulau Jawa. Hal ini memberikan gambaran bahwa
aktivitas unit pengolahan kerang hijau semakin tinggi. Kegiatan pengolahan
kerang hijau menghasilkan limbah padat yang cukup tinggi. Besarnya jumlah limbah
padat cangkang kerang hijau yang dihasilkan, maka diperlukan upaya serius untuk
menanganinya agar dapat bermanfaat dan mengurangi dampak negative terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan. Berdasarkan data ekspor hasil perikanan
Indonesia pada tahun 2003 dan 2004, untuk komoditas koral dan kulit kerang
dihasilkan sekitar 3 208 ton dan 2 752 ton (DKP, 2005). Berkaitan dengan
ketentuan CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries), maka usaha
pengolahan hasil perikanan harus dilakukan lebih optimal dan ramah lingkungan.
Pemanfaatan padat kerang hijau belum dilakukan secara optimal oleh beberapa
unit pengolahan ikan yang berkembang di Indonesia untuk meningkatkan nilai
tambah (added value) dari komoditas
tersebut.
Selama ini limbah padat kerang
berupa cangkang hanya dimanfaatkan
sebagai salah satu materi hiasan dinding, hasil kerajinan, atau bahkan sebagai
campuran pakan ternak.
Pengolahan tersebut tentunya belum
mempunyai nilai tambah yang besar karena masih terbatas dari segi harga maupun
jumlah produksinya. Sehingga diperlukan upaya dalam pemanfaatan tersebut berupa
diversifikasi produk pangan manusia yang diformulasikan dalam bentuk tepung
sebagai sumber kalsium alami dan diaplikasikan sebagai bahan fortifikasi dalam
suatu produk yang sudah populer dan digemari masyarakat banyak, yaitu kerupuk.
Kerupuk merupakan makanan kudapan
yang bersifat kering, ringan, dan porous, yang terbuat dari bahan-bahan yang
mengandung pati cukup tinggi. Kerupuk merupakan makanan kudapan yang sangat
populer, mudah cara pembuatannya, beragam warna dan rasa, disukai oleh segala
lapisan usia dan suku bangsa di Indonesia ini. Namun selama ini produk kerupuk
hanya digunakan sebagai makanan kudapan yang bersifat hiburan saja dan nyaris
tanpa memperhatikan nilai maupun mutu gizinya. Dengan adanya pemanfaatan
cangkang kerang yang dibuat menjadi tepung kalsium dan diaplikasikan sebagai
bahan tambahan dalam produk kerupuk, diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah
yang berguna bagi masyarakat, khususnya bagi penderita defisiensi kalsium dan
penderita gangguan tulang (osteoporosis).
Penderita osteoporosis lebih banyak
diderita oleh penduduk Asia yang mempunyai postur tubuh yang kecil, dan di
antara penduduk Asia sendiri ternyata kaum perempuan lebih banyak yang terkena
osteoporosis dibandingkan kaum prianya. Osteoporosis
adalah penyakit rapuh tulang yang ditandai dengan hilangnya kepadatan
tulang, sehingga tulang mudah patah dan tidak tahan benturan, walaupun ringan.
Asupan kalsium yang tidak mencukupi dan rendahnya penyerapan kalsium oleh
tubuh, hanyalah dua dari beberapa faktor resiko bagi timbulnya osteoporosis.
Berdasarkan Standar Nasional
Indonesia tahun 1999, kerupuk adalah suatu produk makanan kering yang dibuat
dari tepung pati dengan penambahan bahan-bahan lainnya dan bahan tambahan
makanan yang diijinkan. Berdasarkan bentuk dan rupanya, maka dikenal pula jenis
kerupuk mie, kerupuk kemlang, dan kerupuk atom. Bahan baku yang paling banyak
digunakan untuk pembuatan kerupuk adalah tepung tapioka. Namun banyak juga
kerupuk yang menggunakan bahan dasar tepung kedelai, dan tepung sagu. Pembuatan
kerupuk meliputi empat tahap proses yaitu pembuatan adonan, pengukusan,
pengeringan, dan penggorengan. Mutu kerupuk dapat dinilai dengan menggunakan
beberapa parameter, yaitu bersifat sensori, kimiawi, fisik, mapun
mikrobiologis. warna kerupuk yang ditambahkan tepung cangkang kerang hijau
(10%) menjadi lebih gelap daripada warna kerupuk komersial maupun kerupuk
kontrol (0%); sehingga untuk dapat meningkatkan daya terima konsumen, maka
penambahan zat pemutih bahan makanan dapat diberikan dengan kadar tertentu.
Tingginya kadar abu pada kerupuk yang difortifikasi oleh tepung cangkang kerang
hijau berkorelasi positif dengan tingginya kadar kalsium yang berkontribusi di
dalamnya. Analisis bioavailabilitas kalsium dilakukan secara in vitro, dan
diperoleh hasil bahwa hanya 12.93% kalsium yang dapat diserap oleh tubuh pada
pada kerupuk kontrol (0%) dan 6.09% kalsium yang dapat diserap oleh tubuh pada
kerupuk dengan fortifikasi 10% tepung cangkang kerang hijau; walaupun kalsium
yang tersedia pada kerupuk kontrol (0%) adalah 4.90 mg/100g dan pada kerupuk
dengan 10% fortifikasi cangkang kerang hijau adalah 156.77 mg/100g.
Pada uji kesukaan dengan nilai
hedonik berkisar antara 1 (tidak suka) sampai 7 (amat sangat suka), maka nilai
rata-rata kesukaan konsumen yang diperoleh pada kerupuk kontrol (0% tepung
cangkang kerang hijau) adalah 3.81 (agak suka); sedangkan nilai rata-rata
kesukaan konsumen yang diperoleh pada kerupuk yang ditambahkan 10% tepung
cangkang kerang hijau adalah 3.62 (agak suka). Sehingga dapat dikatakan bahwa
kerupuk yang ditambahkan tepung cangkang kerang hijau pun ternyata tidak
mempengaruhi kesukaan konsumen secara signifikan. Maka penggunaan tepung
cangkang kerang hijau dapat dijadikan salah satu alternatif untuk perbaikan
nilai kalsium pada produk, peningkatan nilai tambah limbah cangkang kerang
hijau, serta perbaikan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Namun hal yang
patut dianjurkan bila mengkonsumsi kerupuk yang difortifikasi dengan tepung
cangkang kerang hijau adalah juga meningkatkan asupan bahan-bahan makanan yang
kaya fosfor, sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium pada kerupuk
yang difortifikasi dengan tepung cangkang kerang hijau.
Pemanfaatan cangkang kerang hijau akan menjadi suatu lahan bisnis baru yang prospektif, di
samping turut mensukseskan program pengembangan produk hasil perikanan serta
berorientasi pada perluasan penyediaan lapangan kerja baru bagi masyarakat wilayah pesisir khususnya dan
perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia umumnya.
Referensi;
Hartanti. 1998. Analisis kandungan logam berat merkuri
(Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), arsen (As), dan tembaga (Cu) dalam tubuh
kerang konsumsi serta upaya penurunannya. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Kelautan,
IPB, Gobor. 68 hlm.
Porsepwandi, W. 1998. Pengaruh pH larutan perendaman
terhadap penurunan kandungan Hg dan mutu kerang hijau (Mytilus viridis L.).
Skripsi, Fakultas Perikanan dan Kelautan, IPB, Bogor. 42 hlm.
Post a Comment